Jumat, 16 November 2012

Cerpen Remaja SMA





Kelabu.  Itulah pancaran mata wali kelasku.  Beliau merongrongku dengan kata 'belajar' sepanjang tahun, tetapi aku tidak berniat mendengarkannya.  Sampai akhirnya aku menangkap kemendungannya, hingga aku terpuruk penuh rasa salah.  
Tega nian aku menyusahkan orang setua ini.

Beliau menadahi dagunya dengan telapak tangan.  Alisnya meliuk-liuk.  Kacamata besarnya melorot.  Kerut-merut pada paras wali kelasku menunjukkan jumlah kebijaksanaan yang telah ia miliki.  
Kebijakan yang selama ini kutolak karena kuanggap terlalu tua.  Namun aku salah.  Apapun yang terucap dari mulut beliau bukan dusta.  Ketika beliau mengganggu waktu bermainku dan menuduhku anak malas, saat beliau berkata aku harus belajar lebih keras, dan segalanya, yang selalu kuabaikan, akhirnya aku gagal.  
Gagal dua kali menempuh kelas dua SMA.  
Dari bola matanya terlihat sorot mataku.  Gelap.  Mataku kosong, seperti tidak bernyawa.  Layaknya langit mendung nan gelap.  Tak ada cahaya di sana.

Aku lelah menanggung malu.  Tetapi aku letih memaksa diri belajar.  Padahal aku ingin naik kelas.  Semua orang mendukungku.  Kemudian godaan datang bertubi-tubi bagiku.  Melepasku dari kata rajin.  Aku pun terbuai.  Pergilah aku meninggalkan meja belajar.  Memboloslah aku dari pelajaran paling sulit.  Kubuang segala kesempatanku.  
Hingga aku menemukan kalimat pernyataan 'tidak naik kelas' di buku raporku.  Ini kedua kalinya aku tidak naik kelas.  Bodoh sekali, bukan? 
Wali kelasku menyanggah.  Kamu tidak bodoh.  Kamu hanya terlalu tidak peduli pada nasib masa depanmu.  
Kalau aku tidak bodoh, mengapa terjadi?
Karena kamu tidak mau sedikit saja menyisihkan waktumu untuk berjuang!
Dengan kesal sekaligus tertohok oleh ucapan sang wali kelas, aku memberengut.  Kutinggalkan ruang guru yang gelap, kubanting pintunya, kularikan kakiku sejauh mungkin.  Mungkin aku ingin pergi ke tempat main.  Mungkin aku hanya mau pulang dan tidur sepuasnya.  
Aku ingin kabur dari dunia nyata di mana kita harus terus bekerja susah payah.  
Benci! 

Tahun ajaran baru dimulai dengan kehampaan.  Teman-temanku yang sudah naik strata ke tingkat terakhir SMA menertawakanku.  Mengasihaniku.  Menepuk pundakku.  Memberiku nasihat basi.  Mata mereka menampakkan awan putih.  Tanpa beban.  Bebas.  Lega.  Sedangkan aku melihat guntur di mataku.  Marah.  Kesal.  Sesal.

Kuterobos gerombolan mantan adik kelasku.  Kini aku terjebak bersama para berondong! Siapa kalian? Ah, nanti kalian pasti menertawakan aku jika telah tahu kisahku.  
Aku masuk kelas.  Banyak orang di sana.  Menatapku penuh tanda tanya.  Tentu saja.  Mereka tidak mengenalku.

Duduklah aku di bangku belakang, sudut kanan.  Ini ruang kelasku yang lama.  Baunya pun masih sama.  
Sekonyong-konyong datang seorang gadis manis berambut keriting kriwil.  Ia memberi senyum padaku.  Disebutnya sebuah nama: Kirana.  Lalu aku membalas perkenalannya.  
Ia tampak terpukau oleh namaku, Bintang.  Matanya berbinar.  Oh, sebuah bulan kemilau! Aku menemukan bulan di mata Kirana.  

Wali kelasku bertanya mengenai kabarku.  Ia bilang aku harus berubah tahun ini.  Apa yang mesti kuubah? Aku nyaman hidup sesantai-santainya.  
Tetapi kamu wajib naik kelas!
Ya.  Kalau begitu, bagaimana caranya hidup santai penuh sukses? 
Hidup adalah perjuangan.  
Kenapa kita harus berjuang?
Wali kelasku, Pak Surya, pun mengalah.  Mendesahlah beliau.  Kacamatanya dicopot.  Tangannya dilipat.  
Ia memanggil namaku dan mulai mengusahakan pembicaraan serius antara kami.  Dikatakannya bahwa setidaknya, walaupun aku benci SMA dan belajar, aku harus menempuhnya demi kebahagiaan orang tuaku.  Lagipula, aku sudah gagal.  Gagal adalah awal dari kesuksesan.  Seharusnya sejak gagal pertama kali aku diharapkan menyadari kesalahan dan memperbaikinya.  
Pak Surya kecewa karena perjuanganku tidak dilakukan dengan serius.  Kenapa? tanyanya.  Cobalah sekali lagi.  Dengan sungguh-sungguh.

Ingin aku menyumbat telinga dengan gabus.  Malas aku mendengar ocehannya.  Di sisi lain, petuah-petuahnya memang menyakiti hatiku.  Terasa begitu tepat mengenai perasaanku.  
Beliau tidak pernah salah bicara.  

Pemilik mata bulan yang masih kecil menghampiriku.  Ia menyodorkan catatan Sejarah untukku.  Rupanya ia menyadari aku tertidur saat pelajaran, dan, tentu saja, buku catatanku kosong melompong bak kolam renang sedang dibersihkan.  Hanya garis-garis yang nampak atasnya.  
Aku berterima kasih.  Ia mengangguk.  Pinjam saja dulu.  Aku sudah menggarisbawahi bagian terpenting.  
Heran.  Jangan-jangan ia agen rahasia dari Pak Surya dalam rangka membuatku tidak tinggal kelas! Kutanyai Kirana tanpa basa-basi.  
Ia menggeleng.  Dia bilang, ia hanya tidak mau nanti ada satu anak pun yang tertinggal di akhir tahun ajaran.  Sialan.  Mengena sekali! 
Mulai besok jangan tidur di kelas lagi.  Nasihat Kirana menggema.  Rugi.  

Mataku tetap terasa kering kerontang meskipun aku berusaha membelalakannya.  Kutopang daguku.  Kutampar pipiku.  Namun atmosfer yang dikerubuti debu-debu Matematika gencar menyuruhku terlelap.  
Semua keributan di kelas rasanya mengawang dalam kepalaku.  Langit di luar mendung.  Meniru atmosfer hatiku.

Lalu datanglah jam istirahat.  Segera kuregangkan otot-ototku.  Hah.  Perutku lapar.  Berkeruyuk ia dengan lantang.  Kirana menghampiriku secara ajaib, membawa sekotak makanan.  Dia tersenyum simpul dan mengajakku makan.  
Kalau perut lapar, belajar mana masuk? 
Aku merenggut.  Aku tidak punya makanan.

Kotak makanan Kirana yang ukurannya kira-kira sebesar ubin keramik putih dibuka.  Rupanya di sana tersaji seonggok sayuran dan empat potong perkedel jagung.  Hmm.  Menggiurkan.  Kirana kemudian duduk di depanku, membawa kantung bekalnya yang tertinggal di mejanya.  Dikeluarkannya sekotak nasi.  
Pinjam piring ke ruang guru, pintanya.

Maka aku beranjak dan bertemu Pak Surya sedang mengobrol dengan guru lain.  Ruang guru pengap tersebut ramai oleh keberadaan para pahlawan tanpa jasa berbaju rapi.  Lantas aku menanyakan pada Pak Surya perihal meminjam piring.  Ia pun memberikannya.  
Jarang kau makan saat istirahat, Bintang.  Siapa teman makanmu?

Aku cengengesan sendiri.  Kusebut nama seorang teman sekelas.  Asal saja.  Lalu aku berlari keluar.  
Kembalikan siang ini, ya!
Aku tiba di kelas.  Kirana membaca buku saku berisi moto-moto Latin selama menantiku.  Ia segera membagi nasinya dan lauknya.  Kami makan bersama sambil mengobrol.

Diceritakannya soal keluarganya yang ramai.  Tentang dua adiknya, ayah pendiamnya, ibu ceriwisnya, bahkan bebek peliharaannya.  Ia paparkan padaku buku-buku bacaan favoritnya.  Pramoedya.  Fira Basuki.  Dee.  Lalu ada nama Hilman disebutkan juga.  Semua genre adalah favoritnya! Kirana pun memberitahuku soal musik.  Dia suka jazz.  Aku penggemar indie dan The Upstairs.

Kami tertawa saat seorang teman sekelas masuk dan menuduh kami pacaran.  
Seiring kenyangnya perutku, aku semakin gembira.  Pelajaran berikutnya, aku menyerap semua kata-kata guru Matematikaku.  Aku bahkan berhasil mengerjakan latihan fungsi aljabarku.  
Beberapa nomor salah, sih.  
Tapi lumayan, 'kan?

Kami mendapat tugas kelompok.  Membaca buku sejarah Indonesia, terutama tentang berkembangnya aneka agama di sana sejak abad sekian dan pengaruhnya pada kebudayaan kita masa kini dan menuliskan inti-inti terpentingnya.  Aku disekelompokkan dengan Kirana.  Seakan guruku ingin membuat seisi kelas meledek kami karena kami sangat dekat.  
Lantas Kirana malah menambah seru anak-anak dengan mengajakku pulang bersama dan mengerjakan tugas di perpustakaan kota.  Kota kecil tempat kami tinggal.  
Aku setuju-setuju saja.  Kapan lagi ada gadis yang mau mengajakku pergi? 
Pulang sekolah, ia membawaku ke tempat parkir sekolah.  Aku bertanya-tanya.  Apa dia membawa mobil atau motor?

Kamu bisa mengendarai sepeda?
Aku terheran-heran menyaksikan sepeda ontel yang dibawanya.  Astaga.  Lucu sekali.  Sebuah kendaraan tanpa bahan bakar dengan keranjang pada moncongnya dan dudukan boncengan di punggung.  
Akhirnya kami berboncengan naik sepeda ontel menyusuri jalan sepi kota kami.  Aku di depan, ia di belakang, meremas ranselku supaya tetap seimbang.  Betapa imutnya dia, kalau kupikir-pikirkan ekspresinya.

Siapa kira-kira yang dulu membonceng Kirana? 
Kami sampai di gerbang perpustakaan umum.  Kami sisiri setiap rak buku sampai menemukan buku yang direkomendasikan guru sejarah kami tersebut.  Pustaka tebal tersebut kami bawa ke meja bundar yang tersedia di sana.  Kami lalu membacanya bersama seperti anak kecil berbagi dongeng.  Sesudah itu mencatat bagian-bagian penting yang ditargetkan guru.  
Ia merapat padaku ketika mengingatkanku bahwa ada beberapa hal yang sebetulnya tidak perlu kutulis.  Heran.  Rasanya perutku mulas.  Aku buru-buru mengiyakan ucapannya dan menghapus tulisanku.  Ia menyingkir, dan mulasku masih ada.  
Hening sejenak.  Kami asyik masing-masing.  
Aku tak sengaja menggarisbawahi satu kalimat dalam paragraf penting—maksudku agar tidak terlewatkan.  Untung aku memakai pensil.  
Punya penghapus? 
Wah, Bintang! Jangan coret-coret bukunya, dong.
Aku bilang aku tak sengaja.  Kirana cekikikan.  Dia melempar penghapus ke telapak tanganku.  Kutangkap dengan lincah.  
Kamu suka olahraga?
Lumayan.
Aku sih tidak.  Kecuali bersepeda dan jalan kaki.  
Waktu kecil aku juara kelereng segeng main.
Aku juara duduk terlama, kalau begitu.
Kirana pun menertawakan dirinya sendiri.  Aku memandanginya penuh kekaguman.  Ia nampak bersinar.  Di matanya ada kerlipan kemilau.  
Mataku sendiri memantulkan cahaya tersebut.  Sepertinya di antara langit gelap hampaku muncul secercah cahaya.   

Kirana sangat terbuka padaku mengenai dirinya.  Dalam waktu beberapa bulan saja, aku nyaris hafal apa kebiasaannya.  Dia pun begitu terhadapku.  Padahal aku cukup tertutup.  
Tapi Kirana berkata bahwa kelakuanku sangat polos, kadang-kadang.  Semua orang mampu mengenali perasaanku tanpa perlu banyak wawancara.  
Aku hanya nyengir mendengar komentarnya.  
Bersamaan dengan persahabatanku dengan Kirana, aku menyadari bahwa nilaiku naik.  Secuil saja, tidak ekstrim.  Tapi Pak Surya saja suatu kali memanggilku dan memberiku sekeping coklat koin berbungkus kertas emas.  
Hadiah lulus midsemester.  
Aku tertawa geli melihat cara ia memperlakukanku seperti anak SD.  Perlu upetikah aku untuk melaksanakan hal yang baik? 
Ini hanya sebagai penghargaan kecil supaya kau termotivasi untuk meningkatkan nilaimu lebih lagi, Bintang.  
Terima kasih, Pak. 
Pak Surya barangkali baru pertama kali mendapatkan ucapan terima kasih dariku.  Ia melotot.  Karena itulah aku dapat melihat langit pada matanya yang kian terang.  Oh, Pak Surya.  

Nilai senirupaku terlebih membanggakan lagi.  Lukisan pemandanganku dipuja oleh guru seni.  Ia bilang, karyaku terasa asli dan penuh penghayatan.  Begitulah.  Aku sampai menahan nafas karena baru kali ini aku diberi kata-kata semanis itu.  Orang tuaku saja tidak pernah bilang begitu.  
Aku tidak tahu kamu pandai melukis.  
Itu kata-kata Kirana.  Ia malah minta aku melukis langit malam dengan bulan dan bintang-bintang kecil untuk dipajang sebagai dekorasi kamarnya.  Aku menerima saja kemauannya.  Kirana sampai membeli selembar kain kanvas selebar daun pintu.  
Sungguh-sungguh buatkan, ya.  
Boleh.  
Malam itu aku bercokol di rumah dan mengeluarkan cat lamaku yang ternyata sudah kering! Mumpung tidak ada PR dan cerah, aku berjalan ke toko alat lukis terdekat.  
Kutelusuri rak demi rak memilih cat berkualitas tertinggi.  
Aku pulang membawa cat yang kusukai dan dalam semalam aku menyelesaikan segulung lukisan langit malam yang sarat rasa senang.  Keesokan paginya Kirana menerima lukisan tersebut dengan penuh keceriaan.  Dia menepuk lenganku entah berapa belas kali saking riangnya.  
Terima kasihnya diucapkan puluhan kali setiap menit.  
Mengapa kau begitu menyukai langit malam?
Mata Kirana meredup.  Tidak sinkron dengan kalimat berikutnya yang ia lontarkan.  
Ada kenangan manis tentang langit malam.  Aku dan seseorang dulu selalu memandangi langit bersama.  Langit malam yang cantik.  Aku bulan, dan dia bintangnya.  
Perutku mulas.  Ia tampak kelam seperti warna langit malam.  Kuberanikan diri bertanya siapa orang yang ia maksud.

Mirip denganmu, sifatnya.  Seumuran dengan kita.  
Aku bertambah penasaran.  
Dia teman lamamu? 
Kirana mengangguk pelan.  Kalau sekedar teman lama, kenapa seakan ia sangat merindukannya? Mungkinkah figur misterius tersebut adalah kekasihnya? 
Mantan pacar ya? Tanyaku, bernada jahil.

Kirana bahkan tidak tersenyum.  Ia malah menatapku gundah.  Aku terkejut saat bulan di matanya itu mencair.  Leleh seperti kuning telur.  Dalam kesunyian, Kirana membiarkan beberapa butir air mata terjun ke pipinya.  Aku tidak sempat mengambil lap apapun.  Maka kupakai tanganku untuk membantunya mengeringkannya.  
Ia menunduk.  Kuberi ia peluk.  
Sampai akhirnya ia menceritakan semuanya.  Segala hal yang dilakukan teman menonton langit malamnya.  Seorang laki-laki dari kelas sebelah.  Membelikan sekotak biskuit coklat.  Memboncengnya ke padang rumput terdekat.  Duduk bersamanya, merinci nama-nama bintang.  Setiap hari mereka bersama.  Tiga bulan yang luar biasa, kata Kirana.  Hingga Kirana sadar bahwa temannya itu semakin kurus saja.

Hingga anak itu tidak pernah muncul di sekolah.  Hingga Kirana menemukan namanya di daftar penghuni baru rehabilitasi narkoba.  Suatu saat, temannya itu menghilang.  Dan terbaca berita di koran bahwa seorang pemuda usia lima belas overdosis di kamar tidurnya sendiri.  Kemudian Kirana melihat rumah temannya dikunjungi orang-orang berbaju hitam.  Tanda duka.  
Kirana selalu menatap langit malam.  Ia berharap temannya berbicara lewat kerlingan bintang dan bulan di atas sana.  Tapi mustahil! 

Pandanganku pada dunia berubah begitu saja.  Aku dan Kirana belajar habis-habisan untuk ulangan umum semester dua ini.  Setiap hari kami mengulang pelajaran hari ini di jalan pulang.  Kami berpisah di perpustakaan karena letaknya di tengah kota.

Kurasa aku perlu berjuang kali ini.  Aku tidak mau tertinggal lagi, karena aku akan keluar dari sekolah jika sekali lagi aku gagal.  Semua dukungan Kirana tentu jadi sia-sia.  Betapa bakal marahnya ia jika itu terjadi! 
Di sisi lain, sulit bagiku untuk tidak mengikuti semua omongan Kirana yang memotivasi secara luar biasa.  Dia jarang membiarkanku menganggur.  Setiap aku punya waktu senggang, ia mengajakku tanya jawab Geografi.  Ketika aku hampir tertidur di jam pelajaran Matematika, Kirana menggebuk mejaku hingga semua orang kaget.  Tapi aku toh langsung cenghar.  
Pak Surya menyumbangkan tiga keping coklat koin untukku.  Nilaimu naik tiga angka untuk Matematika.  Luar biasa.  Pertahankan sampai kau lulus SMA.  
Beberapa kerlipan mengunjungi tatapanku.  Aku merasa bola mataku berbinar cerah.  

Cerah.  Mata Pak Surya benar-benar secerah pagi hari.  Seakan ada matahari bertengger di sana.  Ia menggenggam buku raporku.  Setelah dua kali tercap tulisan TIDAK NAIK KELAS di sana, kini terstempel frasa terindah untuk masa ini: NAIK KELAS.  Aku, Bintang, naik kelas! 
Kirana, yang berdiri di sampingku, tersenyum bangga.  Ia juga memeluk buku rapornya.  
Kamu hebat, Bintang.

Itu karena kalian, Pak Surya, Kirana.  
Pak Surya lantas berkata pada Kirana: Kenapa kau tertarik untuk memotivasi Bintang?
Kirana hanya menjawab tenang: Karena aku bulan.  Bulan adalah sahabat sejati bintang.  
Kami para lelaki kebingungan mendengar puisi singkatnya.  Kirana lalu berkata bahwa ia tidak tega melihat Pak Surya karena terlalu pusing memikirkan aku.  
Pak Surya terkikik dan berpandangan dengan Kirana.  Untung saya bocorkan padamu ada seorang anak yang butuh perhatian lebih padamu.  
Apa?

Tapi aku tidak sekedar ingin membuatmu naik kelas, Bintang, kata Pak Surya tanpa bisa kupahami.  Kirana adalah teman yang luar biasa bagimu.  Tidakkah pada matamu sekarang terlihat banyak bintang bertaburan?  Kirana yang memberikannya bagimu.  
Kirana dan Pak Surya saling tersenyum.  Wah, persengkongkolan macam apa ini? Sejak awal mereka bekerja sama membantingku agar naik kelas! Jadi Kirana bukannya secara spontan tertarik padaku? 
Bintang, asal kamu tahu, Kirana pernah sekali dua kali bilang kau sangat baik.  Hei, aku tidak sekedar memberimu kenaikan kelas, 'kan?
Aku mengerjap.  Kirana lalu keluar dari ruang guru.  Pak Surya mengedipkan sebelah matanya.  Aku segera paham maksudnya.  Kutatap langit cerah di matanya sekali lagi, agar aku punya keberanian.  
Kuhampiri Kirana, yang sedang tersenyum sumringah.

Boleh aku menjadi bintang bagimu? Akan kutemani kau di langit malam yang gelap itu.  
Kirana malah menertawakanku.  Habis-habisan.  Tapi segera ia menghentikan kelakuannya dan menghambur padaku.  Dipeluknya aku erat-erat.  Perutku mulas tiada tara saking berdebar-debarnya.  
Sinar bulan, kelap-kelip bintang, elegannya langit malam.  Semua melebur saat kami saling menatap.  Kini aku akan menemaninya.  Selamanya, kuharap.  

Senin, 29 Oktober 2012

Kisah Inspiratif

 


www.youtube.com

Alasan kenapa saya kapok ke rumah temen yg konglomerat (joke……)

sebuah kisah fiksi…
Suatu ketika saya pergi ke rumah temen yang sangat kaya. Setelah dipersilahkan masuk, seorang pembantunya menghampiri saya.
Pembantu (P) : Selamat siang Tuan. Mau minum apa??? Jus buah, soda, teh, coklat, cappuccino, frapuccino, kopi atau yang lain?
Saya (S) : Teh saja, makasih.

P : Tehnya teh ceylon, teh india, teh herbal, teh alang-alang, teh hijau atau teh apa?

S : Teh ceylon

P : Teh ceylonnya pake es, hangat atau panas?

S : Pakai es saja

P : Esnya mau es batu, diserut kasar, diserut salju atau dihancurkan acak?

S : Oh, gak usah repot-repot. Es batu saja.

P : Es batunya mau yang bentuk kubus, pipih, bulat, tabung atau hati-hatian?

S : Yang hati-hatian juga gapapa.
P : Baik. Anda mau tehnya hitam atau putih?
S : Putih.

P : Dengan susu atau krim segar?

S : Dengan susu.
P : Susu kambing, susu domba atau susu sapi?
S : Susu sapi dong!!!
P : Sapi selandia baru, sapi australia atau sapi lokal?
S : Eh, ga jadi putih. Yang hitam aja tehnya.
P : Pemanisnya mau pakai gula atau madu?
S : Dengan gula.

P : Gula tebu atau gula rendah kalori atau gula bit?

S : Gula tebu.

P : Gula tebunya yang putih, coklat atau kuning?

S : Lupakan tehnya. Saya minta air putih saja.
P : Air mineral, air rebus atau air suling?
S : Air mineral.
P : Dingin atau biasa?
S : Dingin.
P : Dinginnya pakai es atau dingin tanpa es?
S : Dingin tanpa es.
P : Dinginnya minus berapa derajat? -5, -10, -15?
S : Weleh-weleh…… Makin haus aku. Dah saya pamit pulang.


www.ketawa.com

Senin, 22 Oktober 2012

Cerita Cinta Yang Menyedihkan

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri. Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka. Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku. Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku. Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya. Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami. Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku. Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi. Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya. “Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut. Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??” “Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu. Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah. Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas. Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis. Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku. Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya. Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku. Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya. Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia. Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku. Istriku Liliana tersayang, Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu. Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang. Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku. Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy! Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note. Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta. Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi. Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.” Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?” Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.” Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.